Jumat, 31 Oktober 2014

Pengertian Studi Kultural-Culture Study-Kajian Budaya

Kajian budaya atau Studi Kultural (Culture Study) adalah bidang akademik yang didasarkan pada teori kritis dan kritik sastra. Karakteristik interdisipliner, studi budaya menyediakan jaringan refleksif intelektual mencoba untuk menempatkan pasukan membangun kehidupan kita sehari-hari. Ini menyangkut dinamika politik budaya kontemporer, serta yayasan sejarahnya, konflik, dan sifat-sifat yang menentukan. Hal ini dibedakan dari antropologi budaya dan studi etnis di kedua tujuan dan metodologi. Para peneliti berkonsentrasi pada bagaimana media tertentu atau messagerelates ideologi, kelas sosial, kebangsaan, etnis, seksualitas dan / atau gender, bukannya menyelidiki suatu budaya tertentu atau wilayah dunia. [1]
Cultural studies pendekatan holistik mata pelajaran, menggabungkan teori feminis, teori sosial, teori politik, sejarah, filsafat, teori sastra, teori media, kajian film / video, studi komunikasi, ekonomi politik, studi terjemahan, studi museum sejarah dan seni / kritik untuk mempelajari budaya fenomena di berbagai masyarakat. Dengan demikian, kajian budaya berusaha untuk memahami cara-cara di mana makna dihasilkan, disebarluaskan, dan diproduksi melalui berbagai, kepercayaan praktek dan lembaga. Juga politik, ekonomi dan bahkan struktur sosial dalam budaya tertentu.
Sejarah

Istilah ini diciptakan oleh Richard Hoggart pada tahun 1964 ketika ia mendirikan Pusat Studi Budaya Birmingham Kontemporer atau CCCS [rujukan?]. Sejak itu menjadi sangat terkait dengan Stuart Hall, yang berhasil Hoggart sebagai Direktur.
Dari tahun 1970, merintis kerja Stuart Hall, bersama dengan rekan-rekannya Paul Willis, Dick Hebdige, Tony Jefferson, Michael Green dan Angela McRobbie, menciptakan sebuah gerakan intelektual internasional. Banyak budaya studi sarjana dipekerjakan Marxistmethods analisis, mengeksplorasi hubungan antara bentuk-bentuk budaya (suprastruktur) dan bahwa dari ekonomi politik (dasar). Pada 1970-an, kelas politik tangguh bekerja British berada di penurunan. Inggris industri manufaktur yang memudar dan serikat gulungan yang menyusut. Namun jutaan warga Inggris kelas pekerja mendukung munculnya Margaret Thatcher. Untuk Stuart Hall dan teori Marxis lainnya, ini pergeseran loyalitas dari Partai Buruh ke Partai Konservatif adalah bertentangan dengan kepentingan kelas pekerja dan harus dijelaskan dalam hal politik budaya.


Dalam rangka untuk memahami situasi politik yang berubah kelas, politik dan budaya di Inggris, ulama di CCCS beralih ke karya Antonio Gramsci, seorang pemikir Italia tahun 1920-an dan 30-an. Gramsci telah peduli dengan masalah yang sama: mengapa buruh Italia dan petani memilih fasis? Dengan kata lain, mengapa orang yang bekerja memilih untuk memberikan kontrol yang lebih kepada perusahaan dan melihat hak-hak mereka sendiri dan kebebasan dibatalkan? Gramsci dimodifikasi klasik Marxisme dalam melihat budaya sebagai instrumen kunci kontrol politik dan sosial. Dalam pandangan ini, kapitalis digunakan tidak hanya kekerasan (polisi, penjara, represi, militer) untuk mempertahankan kontrol, tetapi juga merambah budaya sehari-hari orang yang bekerja. Dengan demikian, rubrik kunci untuk Gramsci dan untuk studi budaya adalah bahwa hegemoni budaya.




Menurut Stuart Hall representasi merupakan media penyampaian pesan, berekspresi dan mengkomunikasikan ide, konsep atau perasaan kita, yang kesemuanya merupakan transmisi penyampai makna ( Stuart Hall, 1997:4-5). Berangkat dari paradigma postrukturalisme dan teori postkolonial ,pendekatan cultural studies memposisikan pengetahuan bukan sebagai suatu kebenaran obyektif, melainkan sebagai suatu produk kita mengkategorisasikan dunia melalui pengertian yang dibangun secara diskursif ( Kristeva, 1986). Postrukturalis, dalam pandangan Michel Foucault melihat pengetahuan lahir dari suatu proses diskursif.
Michel Foucault
Michel Foucault
Menurut Foucault, pengetahuan berkenaan pula dengan relasi kekuasaan, seperti yang dikatakannya : “ Power produces knowledge, in the sense that what is considered ‘true’, knowledge about a topic is constructed through discourse. It is discursive knowledge which has the power to make itself true” ( Stuart Hall, 1997: 49). Jadi, dalam pengertian ini, kekuasan telah menciptakan pengetahuan mengenai apa yang kita anggap sebagai suatu “kebenaran”, pengetahuan dikonstruksikan melalui wacana yang kemudian secara diskursif telah menciptakan kekuasan untuk menjadikannya sebagai kebenaran. Foucault kemudian melanjutkan analisisnya mengenai relasi antara pengetahuan dan kekuasaan sebagai berikut : “ Knowledge produced by discourse is a kind of power because ‘those who known in a particular way will be subject (i.e. subjected) to it “ ( Stuart Hall, 1997 : 295). Konstruksi sosial dalam pandangan postrukturalis menurut Foucault ini telah memberi pengaruh yang besar dalam analisis konteks  yang secara spesifik melatarbelakangi suatu wacana dan terutama relasi yang dinamis antara pengetahuan dan kekuasaan. Pengetahuan bukan hanya diciptakaan melalui relasi kekuasaan tetapi juga melahirkan bentuk kekuasaan baru.
Sementara itu, melanjutkan analisis konstruksi sosial postrukturalis, teori postkolonial membahas bagaimana wacana memeroleh kekuasaan dan menggunakannya sebagai alat. Stuart Hall membedakan setidaknya ada tiga fungsi kekuasaan yang telah mencipakan relasi tentang keberbedaan ( differences). Pertama, kekuasaan sebagai cara untuk mengkategorikan masyarakat ke dalam kategori dikotomis seperti “ western non western”. “developed third world”, “civilised-uncivilised”; Kedua, kekuasaan sebagai cara membandingkan kedua kondisi dikotomis tersebut; Ketiga, sebagai framework atau bingkai untuk mengorganisasikan relasi kekuasaan dan menentukan bagaimana kita berpikir serta berbicara.
Homi K Bhabha
Homi K Bhabha
Stuart Hall memang dianggap oleh banyak kalangan sebagai salah satu tokoh intelektual yang amat mewarnai perkembangan cultural studies, cara pandangnya banyak dipengaruhi oleh pemikiran intelektual postrukturalis seperti Edward Said, Homi Bhabha dan Gayatri Spivak. Berdasarkan karya Edward Said, “Orientalism”, dunia direpresentasikan secara polaris sehingga menciptakan kategori “ the others” atau mereka yang lain, yang berbeda  dan karenanya juga menciptakan pembedaan antara “ mereka” dan “kita”. Karya Said sendiri memamg mengundang banyak polemik dikarenakan thesis-nya yang mengatakan bahwa “ Timur”telah menjadi subyek yang pasif bagi proyek modernitas “Barat”.
Edward Said
Edward Said
Studi Said ini dibangun melalui studi interpretatif terhadap karya kesustraan “Barat “ (Western) yang memfokuskan setting narasinya pada konteks Asia (Orientalism). Edward Said ( lewat studi atas novel-novel Barat yang dihasilkan antara lain oleh Flaubert, Austen, Conrad, de Nerval ) menggagas teori mengenai Orientalisme dengan asumsi bahwa ada kaitan erat antara imperialisme Barat dengan unsur-unsur yang didukung oleh kebudayaan Barat. Melalui analisis Foucauldian tentang relasi kekuasaan, Said ( 1995) mencoba memetakan bagaimana “Timur” telah menjadi subyek yang pasif bagi proyek imperialisme Barat, di mana kehendak untuk menguasai ( dominasi) dijalankan secara manipulatif bahkan seringkali melalui proses inkorporasi secara laten dimiliki oleh kelompok  sub-ordinan ( Timur). Thesis Said mengenai Orientalisme ini dianggap terlalu berlebih-lebihan dalam memposisikan ”Timur” sebagai proyek pasif yang sama sekali tidak  memiliki ruang ataupun bentuk-bentuk artikulasi dalam melakukan perlawanan terhadap dominasi peradaban Barat, meski begitu setidaknya Said telah membuka cakrawala baru mengenai  “ bagaimana kita mengkategorisasikan dunia melalui pengalaman kita melihat dunia “.
Gayatri Spivak
Gayatri Spivak
Homi Bhabha dan Gayatri Spivak, kemudian mengembangkan gagasan mengenai studi pasca kolonial dengan fokus studi representasi, yakni apa yang kini dihadirkan sebagai bagian dari wajah dunia. Bhabha menekankan bahwa, apa yang dihadirkan saat ini di dunia merupakan perwujudan representasi dari budaya hybrid (cultural hybrids). Hybridity mendeskripsikan bagaimana wacana mengenai kolonial dan imperial secara inheren bersifat tidak stabil bahkan “split”, sehingga setiap praktek dari dominasi, bahasa menjadi wujud dari hybridity itu sendiri ( Bhabha, 1994). Analisis Bhabha ini didasari oleh studinya mengenai stereotype kolonial di mana dalam konteks persebaran otoritas imperial, misalnya stereotype kekejaman kebangsawanan (the nobel savage) dan kecurangan timur (the wily oriental) dikonstruksikan sebagai suatu “ sifat yang alamiah “ dan konstruksi ini dikonfirmasikan terus-menerus oleh para kolonialis (colonialiser). Dalam penjelasan yang lain, Bhabha menggambarkan stereotype tersebut seringkali bersifat kontradiktif, di mana subyek kolonial ( colonial subject) yang “kejam” digambarkan sebagai “ para abdi yang patuh dan taat” ( karena mereka adalah the bearer of food), mereka seringkali berjiwa mistis dan berfikir secara primitif sehingga karenanya adalah subyek yang tidak berdosa (innocent).
Ambivalensi relasi yang dilahirkan dalam konteks kolonialisme ini melahirkan struktur agensi baru sebagaimana yang ditegaskan oleh Spivak sebagai suatu transformasi yang memungkinkan kondisi dari suatu yang mustahil menjadi niscaya ( the transformation of condition of impossibility into possibility). Suatu gambaran menarik mengenai bagaimana suatu kondisi yang mustahil menjadi suatu yang mungkin terjadi diilustrasikan oleh Bhabha dalam interpretasinya terhadap sekelompok orang-orang desa di luar kota Delhi pada tahun 1817. Para penduduk desa bertahan pada tradisi vegetarian meskipun mereka telah masuk Kristen, dikarenakan argumen bahwa mereka hanya layak menerima sakramen apabila mereka beriman pada hari akhir ( evangelical utterance) dan mereka yang beriman bukan muncul dari sekelompok orang pemakan daging (Bhabha, Sign Taken for Wonders, 1994:102). Bhabha menggambarkan situasi ini sebagai suatu perlawanan yang luar biasa, karena ketika penduduk lokal (native) menginginkan Gospel yang bersifat lokal ( an Indianised Gospel), mereka menggunakan unsur hibridity sebagai cara mempertahankan kekristenan mereka; yang ini diartikan sebagai suatu transformasi dari bentuk konversi yang mustahil menjadi niscaya. Dari konteks ini teori mengenai hibridity dipahami bukan hanya sebagai suatu peralihan dua wujud yanh menjadi suatu wujud baru, melainkan juga melahirkan bentuk-bentuk resistensi yang baru dan juga bentuk-bentuk negosiasi baru ( Spivak, sebagaimana yang dikutip dalam Bart Moore Gilbert, 1997). Melalui struktur agensi baru ini, relasi kekuasaan tidak lagi dikacamatai sebagai bentuk hegemoni lama di mana unsur budaya dominan secara represif memaksakan pengaruhnya secara total terhadap unsur budaya subordinan, karena relasi kekuasaan didalamnya bersifat dinamis sehingga kompetisi antara unsur-unsur kebudayaan memusatahilkan absolutisme dalam praktek kebudayaan.
Ambilavensi relasi dalam konteks postkolonialisme juga melahirkan bentuk-bentuk wacana mengenai “perbedaan” sebagai suatu medan bagi perjuangan identitas (a field of identity struggle). Perspektif postkolonial secara metodologis telah memungkinkan (enabling ) dikotomi kategori orientalis mengenai “majikan-budak (master-slaves), penjajah-yang dijajah (coloniser-colonised), kulit hitam-putih (white-black), mereka yang beradab-tidak beradab (civilsed-uncivilsed)” Kategori “ the other” yakni mereka yang marginal secara artikulatif merupakan fokus bagi analisis kritis ketika konteks modernitas lebih dimaknai sebagai wilayah pertentanagan bagi eksistensi kelompok marginal ( subaltern group). Spivak menggambarkan “subaltern group” sebagai orang-orang biasa yang jauh dari pusaran pertentangan wacana. Kepentingan artikulatif mereka senantiasa dimediasi dan diartikulasikan oleh kelompok-kelompok lain yang lebih dominan misalnya, kalangan intelektual (akademisi ), politisi, para administrator dan isntitusi lain (Spivak, Can the Subaltern speak?, 1988). Dalam studinya mengenai “disenfrancised women” ( Kaum wanita yang kehilangan suara/haknya) Spivak mengilustrasikan bahwa dalam sekelompok perempuan India “Sati”( yakni para janda yang mengorbankan dirinya melalui kematian/bunuh diri), seringkali diam dan tidak berdaya, tidak lain karena suara mereka tidak pernah diberdayakan. Dari situ, ada suatu mata rantai yang hilang ketika kepentingan artikulasi seringkali terdistorsi dan bahkan lenyap dari wacana dominan karena tergantikan oleh media artikulasi lain ( intelektual, institusi patriarkhis, administrator, politisi dan lain-lain) yang memiliki kepentingan kekuasaan terhadap kompetisi wacana dominan. Studi Spivak inilah yang kemudian menginisiasi wacana mengenai kritik postkolonial untuk “merekam suara mereka yang diam” ( to record the silence) sehingga “perbedaan”   (differences) memiliki ruang artikulasi bukan hanya untuk dipahami tetapi juga untuk diakui, pada konteks inilah perjuangan bagi identitas dimunculkan.

Lash Scott menulis:Dalam karya Hall, Hebdige dan McRobbie, budaya populer datang kedepan ... Apa yang Gramsci memberikan ini adalah pentingnya persetujuan dan budaya. Jika Marxis mendasar melihat kekuatan dalam hal kelas-kelas versus-, maka Gramsci memberikan kepada kita soal aliansi kelas. Munculnya kajian budaya itu sendiri didasarkan pada penurunan keunggulan mendasar kelas-versus-kelas politik [2].
Edgar dan Sedgwick menulis:
Teori hegemoni adalah penting pusat untuk pengembangan kajian budaya Inggris [khususnya CCCS]. Ini memfasilitasi analisis dari cara di mana kelompok subordinat aktif melawan dan menanggapi dominasi politik dan ekonomi. Kelompok-kelompok bawahan yang dibutuhkan tidak perlu dipandang sebagai dupes pasif dari kelas dominan dan ideologi. [3]
Ini garis pemikiran membuka lembaga kerja berbuah menjelajahi, pandangan teoritis yang dimasukkan kembali, kapasitas aktif kritis terhadap semua orang. [Rujukan?] Pengertian badan telah dilengkapi banyak penekanan ilmiah tentang kelompok orang (misalnya kelas pekerja, primitif, terjajah masyarakat, perempuan) yang politik kesadaran dan ruang lingkup aksi pada umumnya terbatas pada posisi mereka dalam struktur ekonomi dan politik tertentu. [rujukan?] [riset asli?] Dengan kata lain, banyak ekonom, sosiolog, ilmuwan politik dan sejarawan secara tradisional gagal mengakui bahwa orang-orang biasa memang berperan dalam membentuk dunia mereka atau outlook. Meskipun antropolog sejak 1960-an telah dilatardepankan kekuatan agen untuk struktur kontes, pertama dalam karya transactionalists seperti Fredrik Barth dan kemudian dalam karya terinspirasi oleh teori resistensi dan pasca-kolonial teori. [Rujukan?] [Riset asli?]
Pada kali, asmara cultural studies 'dengan gagasan badan hampir mengecualikan kemungkinan penindasan, mengabaikan fakta bahwa subaltern memiliki politik mereka sendiri, dan romanticizes lembaga, melebih-lebihkan potensi dan kegunaan. [Rujukan?] [Riset asli?] Populer pada 1990-an, banyak budaya studi sarjana menemukan cara-cara kreatif konsumen menggunakan dan menghancurkan komoditas dan ideologi yang dominan. [rujukan?] Orientasi ini telah datang di bawah api untuk berbagai alasan. [rujukan?]
Kajian budaya kekhawatiran itu sendiri dengan makna dan praktek kehidupan sehari-hari. Praktek-praktek budaya terdiri dari cara orang melakukan hal-hal tertentu, seperti menonton televisi atau makan di luar, dalam budaya tertentu. Dalam setiap praktek yang diberikan, orang menggunakan berbagai objek (asiPods atau salib). Oleh karena itu, bidang ini mempelajari makna dan menggunakan atribut masyarakat untuk berbagai benda dan praktek. Baru-baru ini, ascapitalism telah menyebar ke seluruh dunia (suatu proses yang berhubungan dengan globalisasi), studi budaya telah mulai menganalisis bentuk-bentuk lokal dan global perlawanan terhadap hegemoni Barat. [Rujukan?]
Pergerakan menuju globalisasi di dunia kita berfungsi sebagai alasan penting untuk memeriksa Cultural Studies. Menurut Richard Longworth, penulis "Tertangkap di Tengah: Heartland Amerika di Era Globalisasi," itu baru saja dimulai. Kita sekarang dalam tahap re-penemuan bukannya industrialisasi. Dalam 20 tahun terakhir, teknologi komunikasi telah membuat ini mungkin dan telah bergerak sangat cepat [4]. Karena kita meningkat di seluruh dunia komunikasi, globalisasi memiliki efek besar pada bagaimana kita melihat Cultural Studies karena kita terus-menerus terkena ideologi media massa. Selain itu, kebudayaan manusia itu sendiri menjadi lebih bersatu sebagai akibat dari globalisasi. Misalnya, Stuart Hall telah berupaya untuk menggabungkan daerah topik banyak studi, seperti hubungan interpersonal dan pengaruh dari media. Dia percaya kita harus mempelajari suasana pemersatu di mana mereka semua terjadi dan dari mana mereka berasal-kebudayaan manusia [5] ini budaya manusia mulai menjadi lebih dan lebih bersatu sendiri karena globalisasi dan karena itu dapat diperiksa lebih lanjut melalui Cultural Studies. .

Selasa, 28 Oktober 2014

Pengaruh Sistem Bretton Woods Dalam Pendidikan

Sistem Bretton Woods (1944-1976) (bahasa Inggris: Bretton Woods System) adalah sebuah sistem perekonomian dunia yang dihasilkan dari konferensi yang diselenggarakan di Bretton Woods, New Hampshire pada tahun 1944. Konferensi ini merupakan produk kerjasama antara Amerika Serikat dan Inggris yang memiliki beberapa fitur kunci yang melahirkan tiga institusi keuangan dunia yaitu :
Dana Moneter Internasional, 
Bank Dunia, dan 
Organisasi Perdagangan Dunia. 

Sistem Bretton Woods dibentuk dalam rangka menyelesaikan pertarungan yang terjadi antara otonomi yang dimiliki oleh domestik dan stabilitas internasional, namun dasar yang terdapat dalam sistem-otonomi kebijakan nasional, nilai tukar tetap, dan kemampuan untuk mengubah mata uang-satu sama lain saling bertolak belakang

Pengaruihnya Pada pendidikan berarti pendidikan sebagai objek ekonomi sehingga harus berorientasi keuntungan

Sabtu, 25 Oktober 2014

Pengertian Skeptis, Konservatisme, Integritas, Profesionalisme, Kredibilitas

Skeptisme

skep-tis yaitu kurang percaya, ragu-ragu, Sedangkan skeptis-isme adalah aliran (paham) yang memandang sesuatu selalu tidak pasti (meragukan, mencurigakan) contohnya; kesulitan itu telah banyak menimbulkan skeptis-isme terhadap kesanggupan dalam menanggapi gejolak hubungan internasional. Jadi secara umum skeptis-isme adalah ketidakpercayaan atau keraguan seseorang tentang sesuatu yang belum tentu kebenarannya

Skepticism (or scepticism) in contemporary usage is used loosely to denote any questioning attitude,[1] or doubt regarding claims that are taken for granted elsewhere.[2] The word may characterise a position on a single matter, as in the case of religious skepticism, which is "doubt concerning basic religious principles (such as immortality, providence, and revelation)",[3] but philosophical skepticism is an overall approach that requires all new information to be well supported by evidence.[4] Radical skeptics may even doubt the reliability of their own senses.[5] Classical philosophical skepticism derives from the 'Skeptikoi', a school who "asserted nothing".[6] Pyrrhonism, for instance, is the philosophical position that one should suspend judgment in investigations.[7]

Konservatisme

adalah sebuah filsafat politik yang mendukung nilai-nilai tradisional. Istilah ini berasal dari bahasa Latin, conservāre, melestarikan; “menjaga, memelihara, mengamalkan”. Karena berbagai budaya memiliki nilai-nilai yang mapan dan berbeda-beda, kaum konservatif di berbagai kebudayaan mempunyai tujuan yang berbeda-beda pula. Sebagian pihak konservatif berusaha melestarikan status quo, sementara yang lainnya berusaha kembali kepada nilai-nilai dari zaman yang lampau

Integritas

Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik dan merupakan patokan (benchmark) bagi anggota dalam menguji keputusan yang diambilnya.
Integritas mengharuskan seorang anggota untuk, antara lain, bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak menerima kecurangan atau peniadaan prinsip.

Profesionalisme

Profesionalisme (profesionalisme) adalah sifat-sifat (kemampuan, keterampilan, cara pelaksanaan sesuatu dan lain-lain) sebagaimana yang tepat terdapat pada atau dilakukan oleh seorang profesional. [1] Profesionalisme berasal dari profesi yang berarti berhubungan dengan profesi dan memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya , (KBBI, 1994). Jadi, profesionalisme adalah perilaku, keahlian atau kualitas dari seseorang yang profesional (Longman, 1987).

Contohnya, sebagai akuntan, kita harus bisa bekerja dengan benar, sesuai dengan standar yang telah dibuat dan selalu memuaskan pihak-pihak yang mempekerjakan kita

Kredibilitas

Kredibilitas adalah kualitas, kapabilitas, atau kekuatan untuk menimbulkan kepercayaan. Aplikasi umum yang sah dari istilah kredibilitas berkaitan dengan kesaksian dari seseorang atau suatu lembaga selama konferensi. Kesaksian haruslah kompeten dan kredibel apabila ingin diterima sebagai bukti dari sebuah isu yang diperdebatkan.

Contohnya, sebagai auditor, kita harus bisa dipercaya dalam mengabil keputusan, dengan data yang benar – benar akurat, dan mengerjakan pekerjaan sebaik mungkin.

Rabu, 22 Oktober 2014

Pengertian Antropologi

Antropologi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa.

antropologi berasal dari Bahasa Yunani “anthropos” yang artinya manusia dan “logy” atau “logos” yang berarti ilmu yang mempelajari tentang manusia atauyang berarti "wacana" (dalam pengertian "bernalar", "berakal") . Sedangkan pengertian secara harfiah adalah ilmu yang mempelajari tentng manusia yang berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat bagi manusia itu sendiri, dan memberikan pengertian tentang budaya, tradisi, bahasa, adat istiadat dll.
“Antropologi” berarti “kajian manusia” akan tetapi, yang jelas para pakar antropologi bukan satu-satunya pakar yang berurusan dengan manusia, karena ada juga berbagai spesialis tentang Beethoven, Euripides, Oedipus kompleks dan Perang Boer. Juga bukan berarti bahwa para ahli antropologi hanya mengkaji manusia, sebagian menghabiskan waktunya menerobos rimba Afrika untuk mengkaji primat berbulu.


Di Eropa Barat dan Tengah istilah Anthropology dipakai dalam arti khusus, yaitu ilmu tentang ras-ras manusia dipandang dari ciri-ciri fisiknya.
Sedangkan menurut para ahli ialah:
ü Ralf Beals dan Harry Holjen adalah Antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan semua apa yang dikerjakannya.
ü Darwin adalah The drigin species “antrpologi fisik berkembang pesat dengan melakukan penelitian-penelitian terhadap asal muladan perkembangan manusia. Manusia aslanya monyet karena makhluk hidup mengalami evaluasi antropologi ingin membuktikan dengan melakukan berbagai peneliti terhadap kita dan monyet diseluruh dunia”.
ü William A Haviland adalah Antropologi adalah yang mempelajari ummat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
ü David Hunter adalah Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang ummat islam.
Latar belakang Antropologi
Manusia adalah mahkluk sosial yang memerlukan kerja sama antara satu dengan yang lain. Pengetahuan adalah upaya seseorang yang bersifat benar, sedangkan ilmu adalah usaha mencari kebenaran.
Ruang lingkup Antropologi
Berbagai cara manusia untuk meraih hidup dan perkembangannya dari masa kemasa. Sehingga perkembangan struktur fisik dan pengaruhnya terhadap kehidupan mereka.
Studi tentang manusia berkaitan dengan:
Ø Berbagai macam cara hidup manusia dan perkembangan dari masa kemasa
Ø Bertugas menyelidiki semua aspek manusia untuk memahami manusia secara utuh.
Ø Perkembangan fisik dan pengaruhnya terhadap kehidupan mereka.
Social Science meliputi Bentuk-bentuk persekutuan hidup manusia dalam kelompok. Bagian-bagian individu hidup dalam kelompok yang berbeda-beda. Segala sesuatu yang berkaitan dengan perbedaan hidup dalam berbagai kelompok itu muncul, tumbuh, bertahan dan berubah. Study Biology Berhubungan deengan evolusi manusia dan berbagai perbedaan ragam dan bentu fisik manusia di berbagai tempat dimuka bumi. Hubungan Antropologi dengan ilmu-ilmu lain.
Antropologi butuh bantuan ilmu-ilmu lain dan begitu juga sebaliknya, ilmu lain juga memerlukan bantuan antropologi.
Ø Hubungan antara ilmu Psikiater dan Antropologi
Merupakan suatu pengluasan dari hubungan antara ilmu antropologi dan ilmu psikologi.
Ø Hubungan antara ilmu ekonomi dan antropologi
Dalam banyak negara dimana dalam penduduk pedesaannya lebih banyak jumlahnya daripada penduduk kotanya terutama diluar daerah kebudayaan Ero-Amerika, proses dan hukum-hukum ekonomi yang berlaku dalam aktifitas kehidupan ekonominya sangat dipengaruhi sistem kemasyarakatan, cara berfikir pandang dan sikap hidup dari warga masyarakat pedesaan tadi.
Ø Hubungan antara sejara dan antropologi
Hubungan itu sebenarnya merupakan hubungan antara ilmu arkeologi dengan antropologi. Antropologi memberi bahan sejarah sebagai pangkal bagi setiap penulis sejarah dan syiap bangsa didunia, kecuali itu. Banyak masalah dalam hisroriografi dari sejarah suatu bangsa dapat dipecahkan dengan metode-metode antropologi. Para ahli antropologi memerlukan sejarah terutama sejarah dari suku-suku tertentu dalam daerah yang didatanginya.
Ø Hubungan antara ilmu administrasi dan antropologi
Di indonesia ilmu administrasi tentu akan menghadapai masalah-masalah yang sama seperti ilmu ekonomi. Lagi pula, bahan keterangan mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan agraria, yang juga menjadi suatu kompleks masalah yang sangat penting dalam ilmu administrasi, antara lain bisa didapatkan dengan penelitihan berdasarkan metode antropologi.



Minggu, 19 Oktober 2014

Pahlawan Patimura Yang Sejarahnya Dipalsukan


Patimura / Thomas Mattulessy 
Thomas Mattulessy merupakan tokoh fiktif yang harus dihapus dari catatan sejarah Indonesia. Yang sesungguhnya ada adalah Patimura yang memiliki nama ash Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy. Tokoh ini lahir di Hualoy, Seram Selatan, wilayah Islam tahun 1783. Ini sekaligus membantah versi pemerintah yang menyebut Patimura lahir di Saparua. Mat Lussy merupakan bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kasim Al¬lah, Pelayan Allah) atau dalam lidah Maluku disebut ‘Kasimiliali’.


Dalam buku biografi versi pemerintah yang ditulis M Sapija dikatakan jika Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayahnya bernama Anthoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau bukan nama orang tetapi nama sebuah negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan”.


Keterangan Sapija tersebut janggal. Sapija tidak jujur dengan tidak menuliskan sebagai Pelayan Allah dan Sapija tidak menyebut Sahulau itu adalah kesultanan. Lalu Sapija juga mengada-adakan marga Pattimura Mattulessy, padahal di negeri Sahulau tidak ada marga Pattimura atau Mattulessy. Di sana hanya ada marga Kasimiliali yang leluhur mereka adalah Sultan Abdurrahman. Penulis sendiri pernah langsung berdiskusi dengan salah seorang Panglima Perang Hitu di tahun 1999 dimana dia menyatakan jika Patimura adalah Marga Muslim sedangkan Mattulessy adalah Kristren. Jadi tidak ada yang namanya Patimura Matulessy. Yang beranam Patimura pastilah dia seorang Muslim.

Mansyur Suryanegara menyatakan marga Patimura masih ada sampai kini. Dan semua orang yang bermarga Pattimura sekarang ini beragama Islam. Orang-orang tersebut mengaku ikut agama nenek moyang mereka yaitu Pattimura. Dan lagi, Maluku pada masa itu dipenuhi oleh kerajaan-kerajaan Islam dengan empat kerajaan Islam besar yakni Tidore, Ternate, Bacan, dan Jailolo. Begitu banyak kerajaan Islam di sini sehingga Ibnu Batutah menyebutnya sebagai lazirah al-Mulk’ atau Tana Para Raja.’

Dalam wawancara dengan penulis di kediamannya di Bandung pada 2001, Mansyur menyatakan jika umat Islam itu mayoritas di Maluku dan Ambon, jadi bukan wilayah Kristen. “Ada cara mudah untuk membuktikannya, lihat saja dari dari pesawat yang sedang terbang, akan terlihat banyak masjid atau banyak gereja. Kenyataannya, lebih banyak menara masjid daripada gereja di sana.”

Dan lagi, adalah fakta sejarah jika nyaris seluruh perlawanan terhadap penjajah¬apakah itu Portugis, Spanyol, atau pun VOC -Belanda—seluruhnya dibangkitkan oleh tokoh-tokoh Islam. Ini disebabkan antara lain semua penjajah itu membawa misi penyebaran salib. Jadi amat aneh jika ada orang-orang non-Muslim yang juga mengangkat senjata melawan para misionaris imperialis Mi. Bukankah ini berarti perlawanan Para Domba terhadap Sang Gembala? Jelas mustahil. Adalah fakta sejarah pula jika prang¬orang pribumi yang mau memeluk agama kaum penjajah ini akhirnay bergabung dan mau menjadi tentara kaum penjajah yang rnemerangi bangsanya sendiri.

Salah satunya adalah tentara Marsose yang diterjunkan ke Aceh yang terdiri dari orang-orang pribumi non-Muslim yang bekerja melayani para penjajah.

Seluruh perlawanan yang dibangkitkan merupakan perlawanan terhadap upaya 3G (Gold, Glmius, and Gospel) yang dibawa para kafir penjajah. Demikian pula yang dikobarkan Ahmad Lusy Patimura. Pada 1817, Patimura berhasil merebut Benteng Duurstede di Saparua, dan menewaskan residen Van den Bergh. Jihad ini meluas ke Ambon, Scram, dan tempat-tempat lainnya. Jihad yang digelorakan Patimura bisa kita lihat dalam tradisi lisan Maluku yang masih terpelihara hingga kini, yang antara lain beribunyi:
Yami Patasiwa
Yami Patalima
Yami Yama’a Kcpitan Mat Lussy
Matulu lalau Kato Sapambuine Ma Parang kua Kompania
Yami jama’a Kapitan Mat Lussy
Isa Nusa messe
Haro,
Hario,
Manu msi’a yare uleu uleu ‘o
Mane yascunma yare uleu-uleu ‘o
Talano utak; yare uleu-uleu’o.
Melano lette tuttua murine
Yami malawan sua mena miyo
Yami malawan sua mena miyo
(Kami Patasiwa
Kami Patalima
Kami semua dipimpin Kapitan Ahmad Lussy
Semua turun ke kota Saparua
Berperang dengan Kompeni Belanda
Kami semua dipimpin Kapitan Ahrnad Lussy
Menjaga dan mempertahankan
Semua pulau-pulau ini
Tapi pemimpin sudah dibawa ditangkap
Mari pulang semua
Ke kampung halaman masing-masing
Burung-burung garuda (laskar-laskar Hualoy)
Sudah pulang-sudah pulang
Burung-burung talang (laskar-laskar sekutu pulau-pulau)
Sudah pulang-sudah pulang
Ke kampung halaman mereka
Di balik Nunusaku
Kami sudah perang dengan Belanda
Mengepung mereka dari depan
Mengepung mereka dari belakang
Kami sudah perang dengan Belanda
Memukul mereka dari depan
Memukul mereka dari belakang)
Pertempuran kian sengit. Belanda lagi-lagi minta bantuan dari Batavia. Akhirnya Ahmad Lussy dan pasukannya tertangkap Belanda. Pada 16 Desember 1817, Ahmad Lussy dan para mujahidin Ambon menemui svahid di tiang gantungan kafir Belanda.
Sumber: Eramuslim digest, edisi koleksi 9




Data 2


Meluruskan sejarah Kapitan Ahmad `Pattimura’ Lussy
Tokoh Muslim ini sebenarnya bernama Ahmad Lussy, tetapi di zaman ini dia lebih dikenal dengan nama Thomas Mattulessy yang identik Kristen.
Inilah Salah satu contoh deislamisasi dan penghianatan kaum minoritas atas sejarah pejuang Muslim di Maluku dan/atau Indonesia pada umumnya.
Puncak kontroversi tentang siapa Pattimura adalah penyebutan Ahmad Lussy dengan nama Thomas Mattulessy, dari nama seorang Muslim menjadi seorang Kristen. Hebatnya, masyarakat lebih percaya kepada predikat Kristen itu, karena Maluku sering diidentikkan dengan Kristen.
Pattimura adalah Muslim Taat
Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukan Saparua seperti yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah). Ia bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim Allah/Asisten Allah). Dalam bahasa Maluku disebut Kasimiliali.
Menurut sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara, Pattimura adalah seorang Muslim yang taat. Selain keturunan bangsawan, ia juga seorang ulama. Data sejarah menyebutkan bahwa pada masa itu semua pemimpin perang di kawasan Maluku adalah bangsawan atau ulama, atau keduanya.
Bandingkan dengan buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit. M Sapija menulis, “Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau bukan nama orang tetapi nama sebuah negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan”.
Jadi asal nama Thomas Mattulessy dalam buku sejarah nasional adalah karangan dari Sapija. Sebenarnya Mattulessy bukanlah marga melainkan nama, yaitu Ahmad Lussy (Mat Lussy). Dan nama Thomas Mattulessy sebenarnya tidak pernah ada di dalam sejarah perjuangan rakyat Maluku (yang ada adalah Mat Lussy).
Mansyur Suryanegara berpendapat bahwa Pattimura itu marga yang masih ada sampai sekarang. Dan semua orang yang bermarga Pattimura sekarang ini beragama Islam. Orang-orang tersebut mengaku ikut agama nenek moyang mereka yaitu Pattimura.
Masih menurut Mansyur, mayoritas kerajaan-kerajaan di Maluku adalah kerajaan Islam. Di antaranya adalah kerajaan Ambon, Herat, dan Jailolo. Begitu banyaknya kerajaan sehingga orang Arab menyebut kawasan ini dengan Jaziratul Muluk (Negeri Raja-raja). Sebutan ini kelak dikenal dengan nama Maluku.
Mansyur pun tidak sependapat dengan Maluku dan Ambon yang sampai kini diidentikkan dengan Kristen. Penulis buku Menemukan Sejarah (yang menjadi best seller) ini mengatakan, “Kalau dibilang Ambon itu lebih banyak Kristen, lihat saja dari udara (dari pesawat), banyak masjid atau banyak gereja. Kenyataannya, lebih banyak menara masjid daripada gereja.”
Perjuangan Kapitan Ahmad Lussy “Pattimura”
Perlawanan rakyat Maluku terhadap pemerintahan kolonial Hindia Belanda disebabkan beberapa hal. Pertama, adanya kekhawatiran dan kecemasan rakyat akan timbulnya kembali kekejaman pemerintah seperti yang pernah dilakukan pada masa pemerintahan VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie). Kedua, Belanda menjalankan praktik-praktik lama yang dijalankan VOC, yaitu monopoli perdagangan dan pelayaran Hongi. Pelayaran Hongi adalah polisi laut yang membabat pertanian hasil bumi yang tidak mau menjual kepada Belanda. Ketiga, rakyat dibebani berbagai kewajiban berat, seperti kewajiban kerja, penyerahan ikan asin, dendeng, dan kopi.
Akibat penderitaan itu maka rakyat Maluku bangkit mengangkat senjata. Pada tahun 1817, perlawanan itu dikomandani oleh Kapitan Ahmad Lussy. Rakyat berhasil merebut Benteng Duurstede di Saparua. Bahkan residennya yang bernama Van den Bergh terbunuh. Perlawanan meluas ke Ambon, Seram, dan tempat-tempat lainnya.
Berulangkali Belanda mengerahkan pasukan untuk menumpas perlawanan rakyat Maluku, tetapi berulangkali pula Belanda mendapat pukulan berat. Karena itu Belanda meminta bantuan dari pasukan yang ada di Jakarta. Keadaan jadi berbalik, Belanda semakin kuat dan perlawanan rakyat Maluku terdesak. Akhirnya Ahmad Lussy dan kawan-kawan tertangkap Belanda. Pada tanggal 16 Desember 1817 Ahmad Lussy beserta kawan-kawannya menjalani hukuman mati di tiang gantungan.
Nama Pattimura sampai saat ini tetap harum. Namun nama Thomas Mattulessy lebih dikenal daripada Ahmad Lussy atau Mat Lussy. Menurut Mansyur Suryanegara, memang ada upaya-upaya deislamisasi dalam penulisan sejarah. Ini mirip dengan apa yang terjadi terhadap Wong Fei Hung di Cina. Pemerintah nasionalis-komunis Cina berusaha menutupi keislaman Wong Fei Hung, seorang Muslim yang penuh izzah (harga diri) sehingga tidak menerima hinaan dari orang Barat. Dalam film Once Upon A Time in China, tokoh kharismatik ini diperankan aktor ternama Jet Li.
Demikianlah pelurusan sejarah Pattimura yang sebenarnya bernama Kapitan Ahmad Lussy atau Mat Lussy. Wallahu A’lam Bish Shawab.* (dari berbagai sumber)
www.swaramuslim.net

Data 3

MENELUSURI JEJAK PATTIMURA DI BINONGKO
Bukti dan Jejaknya Masih tertata Rapih, di Binongko Patimura di Sebut Kapitan Waloindi
Mengungkap Asal Usul Patimura
Mengungkap jejak asal-usul Patimura berarti mengingatkan kita pada sejarah perjuangan kemerdekaan merebut Benteng Duursetede di Ambon, pada tanggal 16 Mei 1817 M. Nah, Bagaimana kisahnya hingga Patimura disebut Kapitan Waloindi yang tersohor sebagai Pendekar di Bitokawa (Wilayah Kerajaan Buton), selanjutnya di Ambon dikenal dengan nama “ Thomas Matulise Patimura.
Gino Samsudin Mirsab
Di Abad ke 21 ini, banyak para ahli sejarah meneliti situs-situs sebagai fakta sejarah masa lampau dan akhirnya mengangkat nama pejuang yang tidak di kenal asal usulnya, tak terkecuali “Patimura atau di Kerajaan Binongko disebut Kapitan Waloindi”. Pada zamannya Kapitan ini, oleh Colonial Belanda menggelarnya dengan sebutan pembangkang, sebaliknya di mata bangsa Indonesia, Patimura dia dikenal sebagai seorang tokoh pendekar yang santun, murah hatinya dan pejuang hak asasi manusia (HAM).
Saat ini, tak jarang banyak pakar sejarah di tanah air, terpaksa membolak-balikkan fakta sejarah para perjuang Kemerdekaan. Misal Kapitan Waloindi yang setara dengan para pejuang Nasional lainnya di Indonesia. Penelusuran pakar sejarah, ditemukan adanya jejak Patimura. Namun di Binongko oleh kalangan pendahulu Patimura di Binongko, namanya adalah Kapitan Waloindi.
Salah seorang peneliti sejarah La Rabu Mbaru SPd SD, yang ditemui Crew Radar Buton di Binongko mengatakan, sepak terjang pendekar yang satu ini, bukan saja melawan ketidak adilan di wilayah Kerajaan Buton, melainkan juga melakukan perlawanan dengan kalangan penjajah di bumi pertiwi ini. Alkisah, dialah Kapitan Waloindi, salah seorang sosok pendekar pembela rakyat jelata, pembela kebenaran, dan selalu murah hatinya, serta wajib baginya untuk menuntut agar keadilan dibumi pertiwi ini, segera diwujudkan, kata La Rabu Mbaru SPd.SD. Dalam penelusurannya, Kapitan Waloindi bukan saja berjuang melawan penjajah di kepulauan Tukang Besi Bitokawa (saat ini disebut Wakatobi) kerajaan Buton, tetapi juga di wilayah kepulauan Maluku. Karena itu La Rabu Mbaru, dalam uraiannya di buktikan dengan temuan-temuannya, sebagai fakta sejarah dan bukti-buktinya, tutur La Rabu.
“Kapitan Waloindi makamnya ada di Binongko, tegasnya”. Kapitan Waloindi merupakan kisah sejarah masa lampau (bukan merubah sejarah), tetapi hanya menekankan siapa sesungguhnya Kapitan Waloindi itu…?. Dalam fakta-fakta sejarah di Pulau Binongko hingga saat ini masih tersimpan kebenarannya. Karena itu Kapitan Waloindi dalam tradisi lisan rakyat Wali Pulau Binongko, bukan hanya menjadi cerita bersambung antara generasi, melainkan juga disertai dengan bukti-bukti sejarah tercatat pada tahun 1334 M.
Dalam sejarah di Kerajaan Binongko telah berdiri kokoh pada tahun 1334 M, sebelum kedatangan Raja Pati La Soro yang berpusat di Wali Koncu Patua. Selanjutnya pada tahun yang sama dibentuk empat kerajaan bersaudara yang disingkat dengan nama Bitokawa (Binongko, Tomia, Kahedupa, dan Wanse). Sejarah Buton dilegitimasi kebenarannya.
Dikatakannya, Raja Pati LaSoro yang kemudian dikenal dengan nama LaHatimura alias LaMura, alias Kapitan Waloindi, diakuinya berasal dari Tanah Barat yaitu dari wilayah Mongol (Tiongkok-Cina). Adapun sesuai penelusurannya Kapitan Waloindi ditemukan bukan berasal dari Mongol, namun ternyata sejak kecil dia diculik oleh para bajak laut, dan dia kembali masuk ke Indonesia melalui Gorontalo (Sekarang disebut Kabupaten Gorontalo) pada tahun 1334 M.
Selanjutnya Kapitan Waloindi atas informasi yang disampaikan oleh rekan penculiknya sejak masih balita pada saat itu, dia melanjutkan perjalannya menuju ke Pulau Bitokawa tepatnya di Binongko. Maksud kedatangannya di Negeri Bitokawa mencari sanak saudaranya, karena ternyata beliau adalah salah seorang anak cucu Raja Wali Patua Sakti (Sumahi Tahim Alam). La Baru Mbaru dalam penjelasannya, Kapitan Waloindi sesampainya di Pulau Binongko. La Soro bertemu dengan LaKakadu disekitar benteng keramat Oihu (saat ini disebut Kahea Koba). Kahea Koba adalah tempat tanah longsor jatuhnya raja Pati La Soro disaat uji kanuragan kesaktiannya (Hingga hari ini tempat itu, masih mengakui disebut jatuhnya raja Pati LaSoro) oleh masyarakat Lokal binongko.
La Kakadu yang ketika menjamu tamunya, karena mengaku adalah saudaranya yang telah lama menghilang, belum langsung mempercayainya, “kalau benar La Soro (Penemu atau pemilik pulau Bitokawa) adalah saudaraku akan kita buktikan kesaktianmu”, ucap LaKakadu. Tanpa menunggu lama keduanya saling menguji kesaktiannya, yang saat ini masih disebut tempat jatuhnya Raja Pati La Soro. Dalam adu kanuragan LaKakadu menendang Raja Pati LaSoro, hingga terperesok kedalam tanah sedalam 7 depa, selanjutnya di Cabut dari dalam tanah (saat ini disebut Kahea Koba), Kahea artinya Lubang, sedangkan Koba artinya dicabut, jelasnya.
Setelah LaSoro mendapat ujian dari LaKakadu, tibalah gilirannya untuk menguji La Kakadu. Secara tangkas LaSoro memutar Lakakadu dengan menggunakan ujung jarinya, sehingga La Kakadu bermuntah-muntah, lantas dia dilemparkan ke udara dan jatuhnya tepat di tanjung Pemali (Matano Sangia Burangasi) di Pulau Buton. Mengingat karena hal itu hanya ujian kanuragan, LaSoro menarik kembali LaKakadu untuk di kembali ketempat semula di Ohiu Pulau Binongko. Sehingga mulai saat itu keduanya saling membenarkan bahwa keduanya memang bersaudara, anak cucu dari Raja Patua Sumahil Tahim Alam, selanjutnya sebagai fakta sejarah tempat uji coba kesaktian itu, disebut Oihu artinya berarti saudara (Toih’u atau Oih’u), papar La Baru. ”Raja Pati LaSoro yang dikenal Sakti Mandraguna, usianya tercatat lebih kurang 600 tahun, selain itu mempunyai kelebihan atau dalam bahasa Wali (Cia-Cia) disebut (Kalabia Mimbali)”.
Sementara itu La Ode Illa dalam keterangannya kepada Radar Buton mengatakan, Kapitan Waloindi pada tahun 1975, seorang sejarawan Wali bernama Ama Huji, ketika ditemui 4 orang peneliti sejarah yang berasal dari Sumatera, kala itu disaksikan oleh La Ode Illa, La Ode Sehe mantan Kepala Desa Wali yang pernah menjabat pada tahun 1955 - 1979, dan selanjutnya diamini oleh LaOde Jaidi (Iyaro Agama Sarano Wali), sempat mendiskusikan asal-usul Kapitan Waloindi, tepatnya di Baruga Sarano Wali Binongko.
Dalam penjelasannya Iyaro Agama, Raja Pati La Soro yang sering dikenal dengan nama Kapitan Waloindi, berasal dari daerah mongol, namun sebelumnya dalam pencarian sanak saudaranya beliau sempat singga di Gorontalo, selanjutnya menuju ke Binongko. Menariknya dalam kisah pencarian Raja Pati Lasoro ini, setibanya di Binongko, dia La Soro di kabarkan mencari anak cucu Patua (Sumahil Tahil Alam).
Selanjutnya Iyaro Agama menjelaskan, perjuangan Kapitan Waloindi di pulau Tukang Besi ini, sangat besar pengaruhnya. Pasalnya, di Kepulauan Tukang Besi pada saat itu, sedang gencarnya perebutan kekuasaan antara perampok Bajak Laut dari wilayah Tobelo, Ternate, maupun Kerajaan Buton. Karena itu dibutuhkan peranan seorang pahlawan seperti halnya Kapitan Waloindi. Bersama para pejuang lainnya di Kepulauan Tukang besi maka dibangunlah kekuatan Bala tentara, yang hingga saat ini, tidak akan terlupakan dalam lembaran sejarah kerajaan Binongko, karena jasanya menumpas para Bajak laut, hingga saat ini cerita sejarah Kapitan Waloindi dimasyarakat daerah Wakatobi masih selalu diperdengarkan hingga saat ini.
Selanjutnya pada Abat 1334 M, kerajaan Binongko di Wali Koncu patua ketika di taklukan oleh Sapati Baaluwu atas nama kerajaan Buton, maka pada saat itu, empat kerajaan bersaudara Bitokawa masing-masing kerajaan berpusat di Patua Tomia, di Palea Kahedupa, Kerajaan Wanse di Liya Wangiwangi.
Hal ikhwal ditaklukannya kerajaan Bitokawa oleh Kerajaan Buton kala itu, sesuai nara sumber sejarah diwilayah Buton, antara Kapitan Waloindi dan Sapati Baaluwu, sempat terjadi pertempuran antara keduanya selama sehari. Namun karena keduanya tidak nampak akan adanya yang kalah dan menang, maka Kapitan Waloindi, meminta agar pertempuran dihentikan sementara. Dalam jedah waktu tersebut Kapitan Waloindi ketika menatap roman muka Sapati Baaluwu, maupun gerak gerik lawannya itu, yang tidak ada gentarnya.
Maka keduanya berinisiatif, untuk saling membuka rahasia, selanjutnya berunding, untuk tidak memperpanjang pertempuran, guna tidak memakan banyak korban nyawa. Dan dalam bahasa rahasia Kapitan Waloindi memulai membuka Rahasia hidupnya, kalau ingin mengalahkan Kapitan Waloindi, Rahasianya tersimpan ditelapak kakinya. Sapati Baaluwu, mendengar terbukanya Rahasia Kapitan Waloindi...dia berjanji telah tiba saatnya, ”Engkaulah Sapati Baaluwu yang meneruskan Kerajaan Binongko, untuk dipersatukan di bawah naungan Kerajaan Butuni (Buton). Dan bertindaklah yang adil, bijaksana dalam setiap langkahmu”, ungkap Kapitan Waloindi.
Bukti sejarah pertempuran kedua pendekar ini sampai saat ini, masih ada di pantai Pasir Palahidu, dimana secara Haebu (Rahasia), Kapitan Waloindi menyerahkan dengan suka relah telapak kakinya kepada Sapati Baaluwu untuk dibelah kakinya. Dan sejak itu tempat pertarungannya di sebut Pallahidu (Pala artinya Telapak, Hidu artinya Hidup atau Hayat). Hal ini, juga diakui oleh sumber Radar Buton La Herani: pada tahun 2002. Selanjutnya Kapitan Waloindi berkata kepada masyarakatnya, dan sanak keluarganya, ”Kujalau (Aku jalan kaki lewat laut), Jalan tete, jalan tete (Kepergian seorang Kakek), Tamosio-siomo (kita akan berpisah-pisah), Mina dhi Wali Saranakamo LaOde (di Wali akan diserahkannya kepemimpinannya), Asumawimo di Watu Maria Khu Rumope Dhi Ambo Soea (Kumenumpang dipeluruh meriam atau Bedil, Kumenuju Ambon, Soea), sumber La Isamu Kaluku pada tahun 2004.
Diriwayatkan juga, setelah Kapitan Waloindi dibelah kakinya oleh Sapati Baaluwu, maka Kapitan Waloindi menghilang secara misterius menuju Timur, Ambon, dan tinggal di Gunung Soea, untuk melanjutkan pertapaannya. Keberadaan Kapitan Waloindi, di gunung Soea Ambon tidak diketahui orang-orang Bitokawa (Wakatobi), maupun orang Buton yang lebih dahulu bermukim di Ambon, kecuali orang-orang yang bisa memegang rahasia (Manusia Rahasia), baru dapat mengenalnya.
Pada tahun 1511 M, setelah sekian lama Kapitan Waloindi bermukim di gunung Soea Ambon. Namun tidak seorangpun yang tahu kalau beliau adalah seorang yang Ksatria dan mandraguna. Beliau dianggap orang biasa saja. Kapitan Waloindi mulai dikenal sebagai pendekar setelah dia masuk tentara Protugis pada tahun 1511 M, selanjutnya bertempur dengan unifprm pasukan tentara Protugis, menyerang dan memukul mundur pasukan Belanda. Karena itu, maka dia Kapitan Waloindi serya membangkitkan semangat rakyat Ambon Maluku, dia juga membentuk pasukan bala tentara untuk menghadapi ancaman penjajah Belanda (VOC).
Sebagai teman karib Kapitan Waloindi yang setia masing-masing; LaTulukabesi (Raja Hitu), Paulus Tiahahu, Cristina Marta Tiahahu (seorang anak putri Paulus Tiahahu) dan Kapitan Patipelohi (Patipelong), berjuang bahu membahu untuk mengusir penajajah Belanda, kala itu, dikenal dengan merebut Benteng Duursetede Ambon dari tanggal 15-16 Mei 1817.
Setelah menguasai Benteng Duursetede Ambon, dia Kapitan Waloindi yang lebih akrab dipanggil sahabat-sahabatnya dengan nama Patimura, karena Hatinya murah, mulia. Selain itu Kapitan Waloindi juga dipanggil oleh sahabat-sahabatnya La Hatimura atau LaMura. Disebutkannya dengan nama Patimua itu, karena dia Raja Pati yang berhati mulia (bermurah hati), beliau relah membantu orang-orang yang lemah dan teraniaya, sehingga gelarnya semakin lama, maka oleh sahabat-sahabat, mengkukuhkan namanya menjadi, ”Thomas Matulesi Patimura”. Berdasarkan kajian riwayat sejarah lisan kuno Wali Binongko, yang digantung oleh Belanda didepan Benteng Victoria Kota Ambon pada tanggal 16 Desember 1817 itu, adalah bukan Patimura, melainkan seorang mata-mata Belanda yang kebetulan wajahnya sama, mirip dengan Patimura.
Sedangkan Kapitan Waloindi atau Patimura telah merubah wajah bersama La Tulukabesi (Raja Hitu), Paulus Tiahahu, Cristina Tiahahu, dan Kapitan Patipelohi kala itu sedang dalam tahanan Belanda, selanjutnya mereka diasingkan ke tanah jawa. Namun ketika diberangkatkan dengan kapal, sesampainya di sekitaran Laut Buru, kapal tersebut kehabisan makanan dan air minum. Maka kalangan pendekar yang menjadi tahanan Belanda dikapal tersebut, melakukan pemberontakan, dan membunuh habis para penghianat (Belanda) selanjutnya mengarahkan kapal tersebut ke Pulau Tukang Besi, tepatnya dipantai Patuhuno (orang yang turun), dan saat ini disebut ”Patuno”, pulau wangi-wangi.
Keberadaan tahanan Belanda ini, setibanya di pulau Wangiwangi disambut dengan gembira oleh masyarakat Wangiwangi. Namun mata-mata Belanda sebaliknya tidak tinggal diam, malah melaporkannya, berada di pulau Wangiwangi. Raja Hitu (Latulukabesi), bersama Paulus Tiahahu, dan Cristina Tiahahu mendengar telah diketahui oleh mata-mata Belanda tentang keberadaannya di Wangiwangi, setelah mendapat tumpangan mereka kembali ke Ambon, tanpa diketahui oleh mata-mata Belanda.
Sedangkan Kapitan Patipelohi (Patipelong) menuju ke Pulau Tomia dan kawin dengan putri Ince Suleman (Dato Suleman) penyiar agama Islam di Tomia. Sementara Kapitan Waloindi kekampung halaman di Binongko menemui anak cucunya yang kala itu dia tinggalkan kurang lebih 483 tahun.
Ironisnya, setibanya Kapitan Waloindi di Binongko terdengar oleh mata-mata Belanda dan akhirnya beliau dicari oleh Belanda hingga sampai ke pulau Binongko. Namun ketika Kapal Belanda yang memuat 7 Kompi Bala Tentara Belanda untuk menangkap Patimura, malah yang terjadi sebaliknya tentara Belanda dihabisi oleh Kapitan Waloindi.
Sebagai Bukti peninggalan sejarah, kapal Belanda yang berlabuhnya di Taduna itu oleh masyarakat Binongko, tempat itu diberi nama kampung Nato, letaknya tidak jauh dari pantai perkampungan Walanda (Belanda), meskipun hingga saat ini masih dirahasiakan.
Kampung lama atau Kampung Molengo atau mangingi, disinilah Kapitan Waloindi menghembuskan nafas terakhirnya, dan nama Kapitan Waloindi telah diabadikan menjadi nama desa, di kecamatan Togo Binongko Wakatobi. Kesaktian Kapitan Waloindi di Zaman seperti ini, sepertinya tidak masuk akal, namun tidak salah untuk kita kagumi, karena hal itu terjadi pada zamannya.

Kamis, 16 Oktober 2014

Pangeran Diponeoro Tokoh dan Pahlawan Islam


Diponegoro, Singa Jawa dari Keraton Yogjakarta


Beliau seorang Mujahid keturunan Raja Yogjakarta. Seluruh nafas kehidupannya diabadikan untuk kemerdekaan Tanah Jawa, dengan bersendikan ajaran agama Islam.

Tegalrejo 29 Juli 1825. Wilayah di bawah pimpinan Chevallier pasukan gabungan Belanda dan orang-orang patih Darurejo IV menyerbu laskar-laskar Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo, sebuah desa kecil yang terletak di barat laut Keraton Yogjakarta. Dentuman meriam dan bunyi letupan senapan membahana di seluruh penjuru desa.

Menghadapi serangan itu, kedua Pangeran bersama laskarnya segera menyingkir ke tempat yang lebih aman. Mereka menyadari, perang di medan yang amat sempit tidak menguntungkannya. Pangeran Diponegoro akhirnya memilih tempat yang lebih strategis untuk basis peperangannya di bukit Selangor, sebuah tempat yang dikelilingi lembah , benteng-benteng alam dan Gua, yang biasa dipergunakan bertapa. Tempat itu terletak 10 Km di sebelah barat daya kota Yogjakarta. Sedangkan keluarganya diungsikan ke desa Dekso.

Di lain pihak, Chevallier terus melancarkan serangan dahsyat dengan mengerahkan seluruh pasukan dan persenjataan yang dimiliki. Alhasil, Chavalier dalam waktu singkat mampu menguasai Tegalrejo. Sayangnya, Tegalrejo telah kosong melompong. Bakar…. Bakar saja rumah Diponegoro sampai habis! Seru Chavalier di tengah kemarahan dan kedongkolan hatinya karena buruannya telah kabur.

Tanpa membuang waktu lagi, tentara gabungan itu membakar rumah Diponegoro dan puluhan rumah lain di sisi kanan kirinya. Dari kejauhan, di balik bukit terjal, di atas Kuda Getayu, Pangeran Diponegoro bersama Pangeran Mangkubumi beserta seluruh anggota laskarnya menyaksikan dengan sedih pembumihangusan puluhan rumah tersebut.

Sebaliknya berita penyerangan Belanda ke Tegalrejo cepat menjalar ke seluruh pelosok Yogjakarta dan Surakarta. Sebagian besar rakyat tanpa dikomando berduyun-duyun datang ke Selangor lengkap dengan persenjataannya. Dari Surakarta, datang ulama Bayat, dan laskar-laskar yang di komandoi oleh Kyai Mojo dan Tumenggung Prawirodigdoyo. Dari kesultanan Yogjakarta, tidak kurang 74 bangsawan akhirnya menggabungkan diri dengan pasukan Diponegoro di Selangor. Diantara kerumunan Bangsawan itu, terdapat Sentot Prawirodirjo, seorang Senopati muda yang belum berusia 18 tahun, putra Raden Ronggo Prawirodirjo III. Seperti halnya sang ayah, Sentot kemudian tampil sebagai pejuang besar yang sangat di takuti pihak Belanda.

Propaganda perang melawan bangsa kafir segara dilakukan di mana-mana, di Yogjakarta, Jayanegara segera membuat surat edaran untuk seluruh rakyat Mataram. Isinya mengajak berjuang bersama Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi mengusir kaum penjajah Kafir Belanda. Di wilayah luar Yogjakarta, seperti Kedu, Banyumas dan sekitarnya, ajakan jihad fi sabilillah di sampaikan oleh Kyai Kasan Besari yang disambut rakyat dengan gegap gempita.

Sesuai dengan saran Sinuhun Paku Buwono VI, laskar-laskar Diponegoro menggunakan taktik dan strategi perang “Dhedhemitan” alias “Gebag ancat nrabas geblas”. Menyerbu secara tiba-tiba dan kemudian dengan cepat menghilang dibalik hutan-hutan, Gua, Bukit, atau kegelapan malam.

Rupanya taktik dan perang anggota laskar Diponegoro sangat menakutkan pihak Belanda. Tidak mengherankan, bila pada tahun-tahun pertama pihak Belanda kewalahan dan banyak mengalami kekalahan.

Kemenangan pertama Pangeran Diponegoro dan laskarnya didapat di desa Pisangan, perbatasan Muntilan dan Yogjakarta. Laskar Diponegoro yang dipimpin oleh Mulyo Santiko dengan gagah berani mencegah iring-iringan pasukan Belanda yang berjumlah sekitar 120 orang yang berusaha masuk ke Yogjakarta. Mereka berhasil menghancurkan seluruh pasukan Belanda itu. Uang sebesar 50.000 gulden dapat dirampas berikut alat-alat perangnya. Kemenangan pertama ini segera di ikuti oleh kemenangan-kemenangan berikutnya. Pada 6 Agustus 1825, pasukan Diponegoro yang dipimpin para panglimanya yang gagah berani berhasil menghancurkan markas Belanda di Pacitan, menyusul kemudian Purwodadi.

Kemenangan demi kemenangan tentu saja dapat mengobarkan semangat rakyat untuk bersama-sama bangkit melawan Kafir Belanda. Perangpun makin meluas sampai ke Banyumas, Pekalongan, Semarang, Rembang dan Madiun.

Kekalahan beruntun yang dialami Belanda, memaksa Gubernur Jenderal Hindia Belanda segera mengirim Letnan Jenderal Markus De Kock ke Jawa Tengah sebagai panglima angkatan perang Belanda. Jenderal De Kock mendapat kekuasaan untuk menjalankan segala tindakan dalam menangani peperangan.

Jenderal De Kock dengan licik segera menyebarkan politik pecah belah, dan mengadu domba. Ia segera menemui dan memaksa Sunan Pukubuwono VI, dan Mangkunegoro II, dan Paku Alam I agar bersedia membantu Belanda. Ia juga mengerahkan bantuan pasukan pribumi itu untuk menggempur markas pasukan Diponegoro di Selarong. Namun, beruntung gerakan pasukan gabungan ini sudah dapat di ketahui oleh mata-mata Pangeran Diponegoro. Semua laskar dan pimpinannya segera bersembunyi. Akibatnya, ketika pasukan Belanda menguasai Selarong pada malam hari, mereka hanya menemukan bukit dan Gua yang sudah kosong. Pasukan Belanda pun mundur dan kembali pulang dengan tangan hampa.

Tidak beberapa lama tentara Belanda pulang, malam itu juga Pangeran Diponegoro segera mengadakan pertemuan dengan para Senopatinya. Mereka membahas untuk segera memindahkan markasnya di Selarong. Semua sepakat. Desa Deksa yang jaraknya sekitar 23 Km dari Yogjakarta dijadikan markas baru.

Pertempuran kembali berkobar diseluruh Mataram. Hasilnya pada Januari 1826 Pangeran Diponegoro berhasil merebut dan menguasai daerah Imogiri dan Pleret, di susul daerah Lengkong, Kasuran dan Delangu.

Bagi pihak Belanda, kekalahan beruntun itu justru membuat Jenderal De Kock makin nekad. Ia mengajukan permohonan kepada pemerintah pusat Belanda untuk menambah anggaran perang. Anggaran itu rencananya untuk membuat benteng Stelsel. Tujuannya untuk mempersempit ruang gerak Pasukan Diponegoro di daerah-daerah yang di kuasai Belanda. Pelaksanaan benteng Stelsel juga dimaksudkan untuk mengadakan tekanan kepada Pangeran Diponegoro agar bersedia menghentikan peperangan.

Di wilayah Mataram kemudian muncul benteng-benteng Belanda yang kukuh, seperti di Bantul, Paluwatu, Pasargede, Jatinom, dan Delangu. Tidak kurang dari 165 buah benteng telah di dirikan Belanda untuk mempersempit ruang gerak pasukan Pangeran Diponegoro. Tekanan dari Belanda ini masih ditambah dengan adanya Bupati-bupati daerah yang memihak kepada Belanda, sehingga sangat menyulitkan komunikasi laskar Diponegoro antar daerah. Akibatnya, perlawanan itu menjadi mudah dipatahkan oleh pasukan Belanda. Pasukan Bulkiyo mulai menghadapi masa-masa sulit.

Di tengah kesulitan itu, Pangeran Diponegoro mengumpulkan para sesepuh dan Senopati membahas perkembangan dan situasi di medan perang. Pertemuan itu dilakukan di pesanggrahan Bagelan. Hasilnya mereka tetap melanjutkan perjuangan sampai kemerdekaan bumi tanah Jawa tercapai. Akibatnya, tidak sedikit laskar Pengeran Diponegoro yang gugur. Pangeran Kusumowijoyo yang mengobarkan pertempuran di Keraton Surakarta, akhirnya gugur di Lembah Kali Serang. Ia kemudian dikenal dengan nama Pangeran Serang, dan istrinya Raden Ajeng Kusriyah juga gugur di Dekso, Kulon Progo. Tidak berapa lama kemudian, gugur pula Tumenggung Prawirodigdoyo dari Gagatan. Ia gugur di medan tempur Klengkong saat memimpin 100 prajuritnya melawan tentara Belanda yang jumlahnya berlipat-lipat dengan dukungan meriam dan senjata laras panjang.

Belum lagi hilang rasa duka, kabar yang mengejutkan menyusul, Gusti Pangeran Notodiningrat bersama istri dan ibundanya dan tidak kurang dari 200 pengikutnya menyerah kepada Belanda di Yogjakarta. Dengan keberhasilan Belanda mempengaruhi Pangeran Notodiningrat Jenderal De Kock semakin gila mendekati pemimpin-pemimpin laskar Pangeran Diponegoro. Ia menjanjikan kedudukan dan hadiah-hadiah berlimpah bila mau menyerah dan mendukung Belanda. Satu bulan kemudian, Belanda kembali berhasil membujuk salah seorang panglima laskar Diponegoro, yaitu Pangeran Arya Papak dan Tumenggung Ario Sosrodilogo.

Kiai Mojo yang menjadi tulang punggung kekuatan pasukan perang Pangeran Diponegoro, akhirnya juga menyerah kepada pasukan Belanda. Menyerahnya Kiai Mojo merupakan pukulan berat bagi Pangeran Diponegoro dan laskar-laskarnya. Tetapi Pangeran Diponegoro bertekad untuk tidak menyerah dan tetap mengobarkan perlawanan.

Pada 20 Desember 1828, Laskar Pangeran Diponegoro segera melancarkan serangan dahsyat terhadap markas Belanda di Nanggulan. Dalam pertempuran itu Kapten Van Inge tewas, sedang dari pihak pasukan Diponegoro kehilangan Senopatinya yang gagah berani, Pangeran Prangwedono.

Berita hancurnya benteng Nanggulan, membuat jenderal De Kock semakin ketakutan, sebab ia selalu melihat sosok Senopati Sentot sebagai momok yang sangat berbahaya. Karena jenderal De Kock terus berupaya membujuk Sentot dengan berbagai cara agar mau menyerah. Tapi, Senopati muda itu tetap menolaknya. Belum berhasil membujuk Sentot, ia berhasil memperalat dan menekan Pangeran Ario Prawirodiningrat, Bupati Madiun, untuk menyerah. Sebabnya, jika tidak mau menyerah taruhannya adalah nyawa sepupunya.

Setelah Pangeran Ario Prawirodiningrat menyerah, menyusul Sentot Prawirodirjo dan Pangeran Mangkubumi. Menyerahnya dua Pangeran yang gagah berani ini membuat Pangeran Diponegoro kembali terpukul telak dan membawa beban moral, tidak hanya dalam dirinya, tetapi juga kepada seluruh prajurit Bulkiyo. Belum lagi batin Pangeran Diponegoro sembuh di akhir tahun 1829, satu persatu Senopati daerah menyusul jejak Senopati Sentot dan Pangeran Mangkubumi, antara lain, Pangeran Ario Suriokusumo, Kerto Pengalasan, pahlawan medan tempur Pleret, dan Pangeran Joyosudirjo

Rupanyan Pangeran Diponegoro tak bergeming, meski hatinya tertekan, ia tetap melanjutkan perjuangannya dan tetap menaruh kepercayaan atas kesetiaan rakyat Bagelan, Banyumas, dan Kedu. Usaha Jenderal De Kock untuk mempercepat peperangan rupanya tidak berhasil. Meski jauh sebelumnya Jenderal ini sudah menjanjikan 20.000 ringgit kepada siapa saja yang sanggup menangkap hidup atau mati Pangeran Diponegoro. Segenap rakyat dan laskar-laskar Pangeran Diponegoro tidak mau mengkhianati pemimpin yang agung ini.

Tapi, Jenderal De Kock tidak putus asa, melalui Kolonel Cleerrens, akhirnya bisa membujuk putra Pangeran Diponegoro, yaitu Pangeran Dipokusumu, untuk menyerah. Penyerahan putra kesayangannya itu benar-benar membuat Pangeran Diponegoro terluka. Maka pada bulan Februari 1830, ketika Kolonel Cleerens menawarkan jalan perundingan, terpaksa Pangeran Diponegoro menerimanya dengan berat hati. Dua musuh bebuyutan inipun bertemu di Remo Kamal, Bagelan, Purworejo, pada tanggal 16 Februari 1830. Cleerens kemudian mengusulkan agar kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di kaki bukit Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal markus De Kock dari Batavia.

Dengan janji tidak dikhianati, Pangeran Diponegoro bersedia mengadakan perundingan. Pada bulan Maret 1830, ia dengan pasukannya tiba di tempat perundingan, dirumah Residen Magelang. Bersama Kolonel Cleerens, Pangeran Diponegoro menuju ruang kerja Jenderal De Kock. Beberapa putra Diponegoro dan perwira Belanda ikut menyaksikan jalannya perundingan tingkat tinggi tersebut.

Sekitar dua jam sudah perundingan berlangsung, tapi belum membuahkan hasil. Berkali-kali Jenderal De Kock mencoba membujuk agara Pangeran Diponegoro mengurangi tuntutannya. Tapi Pangeran Diponegoro tetap teguh pada pendiriannya. Mendirikan sebuah Negara merdeka yang bersendikan agama Islam. Sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, apabila perundingan menemui jalan buntu, Pangeran Diponegoro boleh meninggalkan ruangan itu dengan bebas. Tapi kenyataannya, Jenderal De Kock curang, “Tangkap tangkap Diponegoro dan semua pengikutnya”, teriak De Kock kepada pasukannya sambil menodongkan pistol kearah Pangeran Diponegoro. Sejurus kemudian, Pangeran Diponegoro beserta para pengikutnya ditangkap dan dijebloskan dalam sebuah penjara yang amat pengap. Hari- hari terakhir pangeran Diponegoro dihabiskan di dalam penjara.
(http://kisahislami.com/pangeran-diponegoro-singa-jawa-dari-keraton-yogjakarta/)

PONPES SHIDIQIIN WARA` PURWOJATI

Sholawat_Badar-Puput_Novel-TOPGAN

Blogger templates

href="http://www.yayasangurungajiindonesia.com" ' rel='canonical'/>>

Adsendiri

Pasang Iklan Disini

adsend

Pasang Iklan Disini

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls