Rabu, 01 Juni 2016

Landasan Pendidikan Inklusi

Landasan Pendidikan Inklusi
Ada empat landasan yang harus dijadikan acuan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Keempat landasan tersebut antara lain landasan filosofis, landasan religi, landasan historis, dan landasan yuridis.
1.    Landasan Filosofis
Setiap bangsa memiliki pandangan hidup atau filosofi sendiri, begitu pula halnya dengan bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang memiliki pandangan atau filosofi sendiri, maka dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif harus diletakkan atas dasar pandangan hidup atau filosofi bangsa Indonesia sendiri.
Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika. Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia, baik kebinekaan vertikal maupun horisontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi.
Kebinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dan sebagainya. Sedangkan kebinekaan horisontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dan sebagainya. Karena berbagai keberagaman namun dengan kesamaan misi yang diemban di bumi ini, misi, menjadi kewajiban untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan. Filosofi Bhinneka Tunggal Ika meyakini bahwa di dalam diri manusia bersemayam potensi yang bila dikembangkan melalui pendidikan yang baik dan benar dapat berkembang hingga hampir tak terbatas. Bertolak dari perbedaan antar manusia, filosofi ini meyakini adanya potensi unggul yang tersembunyi dalam diri individu apabila dikembangkan secara optimal dan terintegrasi dengan semua potensi kemanusiaan lainnya dapat menghasilkan suatu kinerja profesional.
Tugas pendidikan adalah menemukan dan mengenali potensi unggul yang tersembunyi yang terdapat dalam diri setiap individu peserta didik untuk dikembangkan hingga derajat yang optimal sebagai bekal manusia beribadah kepada Tuhan. Dengan demikian pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar untuk memberdayakan semua potensi kemanusiaan yang mencakup potensi fisik, kognitif, afektif, dan intuitif secara optimal dan terintegrasi. Keunggulan dan kekurangan adalah suatu bentuk kebhinnekaan seperti halnya ras, suku, agama, latar budaya, dan sebagainya. Di dalam individu dengan segala keterbatasan dan kelebihan, di mana yang memiliki keterbatasan sering bersemayam keunggulan, dan di dalam diri individu yang memiliki keunggulan sering bersemayam keterbatasan. Dengan demikian keunggulan dan keterbatasan tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk memisahkan peserta didik yang memiliki keterbatasan atau keunggulan dari pergaulannya dengan peserta didik lainnya, karena pergaulan antara mereka akan memungkinkan terjadi saling belajar tentang perilaku dan pengalaman.
2.        Landasan Religi
Sebagai bangsa yang beragama, penyelenggaraan pendidikan tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan agama. Di dalam Al-Qur‟an disebutkan bahwa hakikat manusia adalah makhluk yang satu sama lain berbeda (individual differences). Tuhan menciptakan manusia berbeda satu sama lain dengan maksud agar dapat saling berhubungan dalam rangka saling membutuhkan (QS. AlHujurat 49:13). Adanya siswa yang membutuhkan layanan pendidikan khusus pada hakikatnya adalah manifestasi dari hakikat manusia sebagai individual differences tersebut. Interaksi manusia harus dikaitkan dengan upaya pembuatan kebajikan. Ada dua jenis interaksi antar manusia, yaitu kooperatif dan kompetitif (QS. Al-Maidah, 5:2&48). Begitu pula dengan pendidika, yang juga harus menggunakan keduanya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran.
Bertolak dari ayat-ayat Al-Qur‟an yang telah diuraikan, menunjukkan bahwa ada kesamaan antara pandangan filosofis dengan religi tentang hakikat manusia. Keduanya merupakan upaya menemukan kebenaran hakiki; filsafat menggunakan nalar belaka sedangkan agama menggunakan wahyu. Keduanya akan bertemu karena sumber kebenaran hakiki hanya satu yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Landasan filosofis dan religi akan bertemu untuk selanjutnya dapat menjadi landasan dalam pemanfaatan hasil-hasil penelitian sebagai produk kegiatan keilmuan, termasuk di dalamnya untuk penyelenggaran pendidikan.
3.        Landasan Historis
Masa-masa awal. Pada awalnya, masyarakat bersikap acuh tak acuh bahkan menganggap sebagai sampah dan menolak, orang-orang yang memiliki ketidakmampuan (disability) tertentu (Olsen&Fuller, 2003:161). Di satu sisi, hal ini terjadi karena rasa takut akan takhayul bahwa ibu melahirkan anak cacat merupakan hukuman baginya atas dosa-dosa nenek moyangnya. Oleh sebab itu, harus dihindari, penolakan itu juga terjadi karena takut tertular.
Namun dilain sisi penolakan itu terjadi karena perjuangan untuk bertahan hidup. Anggota kelompok yang terlalu lemah dan tidak berkontribusi terhadap kelangsungan hidup kelompoknya dikeluarkan dari keanggotaannya. Mereka sering kali tidak diberi makanan yang cukup dan tidak memperoleh kasih saying dan kontak sosial yang bermakna. Mereka kesepian, terasing dari kelompok sosialnya dan merasa tidak berguna. Mereka yang berbeda karena kecacatannya akan dikurung atau dibiarkan mati (Skjorten, 2001).
Zaman purbakala dan pada zaman pertengahan. Pada masa ini, muncul seorang fisikawan yakni Hippokrates (460-377 SM) yang mulai mendobrak paradigma lama dengan menggagas bahwa berbagai permasalahan emosional lebih merupakan kekuatan natural daripada kekuatan supra natural sebagaimana yang selama ini diyakini. Lebih tegas lagi pada tahun 427-347 SM, Plato, seorang filosof besar Yunani, yang merupakan murid Socrates, mengatakan bahwa mereka yang tidak stabil secara mental tidak bertanggungjawab atas perilaku mereka.
Gagasan kedua tokoh besar ini membawa perubahan. Hal ini terbukti dalam abad pertengahan. Dimana dalam abad itu, muncul berbagai kelompok religious yang memberikan pelayanan dan tempat tinggal bagi mereka yang diabaikan oleh keluarganya (Olsen&Fuller, 2003:161).
Abad Sembilan belas dan abad dua puluh (masa transisi). Dalam abad ini, masyarakat semakin terbuka bagi mereka yang mengalami ketidakmampuan tertentu. Hal ini bertolak dari keyakinan bahwa setiap orang dapat belajar jika diberi stimulus secara tepat. Dengan demikian, sejak abad sembilan belas di Amerika Serikat telah berdiri sekolah bagi mereka yang buta dan tuli (Olsen&Fuller, 2003:162).
Dalam abad keduapuluhan, muncul berbagai pernyataan dan kesepakatan internasional berkaitan dengan hak manusia. Misalnya saja pada tahun 1948 ada Deklarasi Hak Asasi Manusia, termasuk hak atas pendidikan dan partisipasi penuh di masyarakat untuk semua orang; pada tahun 1989 ada Konvensi PBB tentang Hak Anak; pada tahun 1990 ada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua di Jomtien, Thailand, yang menghasilkan tujuan utama untuk membawa semua anak masuk sekolah dan memberikan semua anak pendidikan yang sesuai; tahun 1993dicetuskan Peraturan Standar tentang Kesamaan Kesempatan bagi Penyandang Cacat, oleh PBB, yang diumumkan tahun 1994 (Skjorten, 2001).
Pencetusan pendidikan inklusif ini terjadi karena selama jangka waktu yang cukup lama, para siswa penyandang cacat dididik secara ekslusif (Watterdal, 2002). Dengan kata lain, mereka tetap diperlakukan sebagai orang-orang yang bukan merupakan bagian dari masyarakat. Akibatnya, masyarakat umum masih merasa aneh dengan kehadiran mereka. Tidak hanya itu, penggunaan sistem integrasi yang telah diterapkan dulu juga meninggalkan berbagai persoalan. Sistem integrasi mengandung makna bahwa siswa penyandang cacat diikutkan ke dalam sekolah reguler setelah anak tersebut mengikuti kelas khusus dan dianggap siap untuk mengikuti suatu kelas di sekolah reguler. Sayangnya, di sana mereka sering ditempatkan dalam suatu kelas berdasarkan tingkat keberfungsiannya dan pengetahuannya bukan menurut usianya. Misalnya kita dapat menemukan anak berusia 12 tahun berada di kelas satu.
Karena situasi tersebut dan semakin munculnya kesadaran akan kesamaan hak dan martabat sebagai manusia maka disuarakanlah hak anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan hak dan pelayanan yang sama. Di mana semua anak (atau orang dewasa) adalah anggota kelompok yang sama, berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain, membantu satu sama lain untuk belajar dan berfungsi, saling mempertimbangkan satu sama lain, menerima kenyataan bahwa anak (atau orang dewasa) tertentu mempunyai kebutuhan yang berbeda dengan mayoritas dan kadang-kadang akan melakukan hal yang berbeda. Dan hal itu dikukuhkan dengan adanya Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusif oleh UNESCO pada 1994.
4.        Landasan Yuridis
Landasan yuridis memiliki hirarki dari undang-undang dasar, undangundang, peraturan pemerintah, kebijakan direktur jendral, peraturan daerah, kebijakan direktur, hingga peraturan sekolah. Juga melibatkan kesepakatankesepakatan internasional yang berkenaan dengan pendidikan. Dalam kesepakatan UNESCO di Salamanca, Spanyol pada tahun 1994 telah ditetapkan agar pendidikan di seluruh dunia dilaksanakan secara inklusif. Dalam kesepakatan tersebut juga dinyatakan bahwa pendidikan adalah hak untuk semua (educational for all), tidak peduli orang itu memiliki hambatan atau tidak, kaya atau miskin, pendidikan juga tidak membedakan ras, warna kulit, suku, dan agama. Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus sedapat mungkin dintegrasikan dengan pendidikan reguler, pemisahan dalam bentuk segregrasi hanya untuk keperluan pembelajaran (instruction), bukan untuk keperluan pendidikan (education). Untuk keperluan pendidikan, anak-anak berkebutuhan khusus harus disosialisasikan dalam lingkungan yang nyata dengan anak-anak lain pada umumnya.
Adapun landasan yuridis pendidikan inklusif sebagai berikut: Instrumen Internasional
a.    1948: Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
b.    1989: Konvensi PBB tentang Hak Anak
c.    1990: Deklarasi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua (Jomtien)
d.   1993: Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi para Penyandang Cacat
e.    1994: Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus
f.     1999: Tinjauan 5 tahun Salamanca
g.    2000: Kerangka Aksi Forum Pendidikan Dunia (Dakar)
h.    2000: Tujuan Pembangunan Millenium yang berfokus pada Penurunan Angka Kemiskinan dan Pembangunan
i.      2001: Flagship PUS tentang Pendidikan dan Kecacatan
Instrumen Nasional
a.    UUD 1945 (amandemen) pasal 31
b.    UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3, 5, 32, 36 ayat (3), 45 ayat (1), 51, 52, 53.
c.    UU No 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pasal 5
d.   Deklarasi Bandung (Nasional) ”Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif” 8-14 Agustus 2004
e.    Deklarasi Bukit Tinggi (Internasional) Tahun 2005
f.     Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Nomor 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 tentang pendidikan inklusif
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa

PONPES SHIDIQIIN WARA` PURWOJATI

Sholawat_Badar-Puput_Novel-TOPGAN

Blogger templates

href="http://www.yayasangurungajiindonesia.com" ' rel='canonical'/>>

Adsendiri

Pasang Iklan Disini

adsend

Pasang Iklan Disini

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls